<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d29125597\x26blogName\x3dHolistic+view+to+Equilibrium+state\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://carokann.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://carokann.blogspot.com/\x26vt\x3d-2369228846023373281', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Resensi film

Friday, January 26, 2007 by ismansyah

Rindu kami padamu
Garin nugroho

Cerita ini berlatar di sebuah pasar rakyat di ibukota yang berpusat pada kisah 3 orang anak (bimo, rindu, dan asih). Menceritakan tentang kehidupan mereka dan interaksi sosial rakyat kecil yang hidup, tinggal, dan mencari makan disana. Lagi-lagi Garin Nugroho membawa realitas masyarakat kecil kedalam film nya yang memberikan tamparan kepada sinetron-sinetron yang beredar di layar televisi kita yang kebanyakan memaparkan tentang kemapanan dan hal-hal kecil gak penting sama sekali (sudah akh..gak bakalan ada habis-habisnya kalau ngomongin sinetron). Aroma dan warnanya hampir mirip dengan film Daun di atas Bantal (berkisah tentang kehidupan rakyat bawah) hanya saja film ini diakhiri dengan kesimpulan yang lebih bahagia (bimo yang menemukan sosok pengganti ibunya, kembalinya ibu asih, kembalinya kakak rindu, dan kebahagiaan massal masyarakat di sana karena kubah mesjid mereka akhirnya datang juga)

karakter-karakter tokoh dalam film ini cukup asli dan tidak berusaha menutup-nutupi keadaan dan kenyataan sehingga terlihat ideal. Bagaimana watak seorang guru ngaji yang mengajar anak-anak kecil yang hidup di pasar, bagaimana watak para pedagang kecil, keseharian mereka, orisinalitas watak anak-anak yang tumbuh di daerah seperti ini (bimo, rindu, dan asih) beserta permasalahan khas mereka (permasalahan anak kecil yang biasanya polos, konyol, sekaligus jujur), dan watak tokoh-tokoh lain dari cerita ini.

Satu hal yang cukup meresap kedalam diri saya adalah interaksi sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat tersebut. Cukup intim, dekat, dan saling memahami satu sama lain. Kerja yang menyangkut kepentingan kelompok di kerjakan secara beramai-ramai bahkan Permasalahan-permasalahan perseorangan secara spontan dianggap sebagai masalah bersama dan ikut memberikan solusi. Saya rasa ini karakter asli bangsa Indonesia, warisan leluhur yang mendekati kepunahannya.

Hanya saja bagi saya film ini kurang mendetail. Banyak hal dan kejadian dipaparkan secara singkat begitu saja. Saya tidak tahu apakah itu disengaja dengan anggapan kejadian-kejadian dalam adegan film tersebut tidak perlu dianggap sebagai sebuah masalah dan tidak perlu didramatisir sedemikian rupa. Atau hal lain yang mungkin adalah karena titik pusat tokoh tidak hanya pada satu orang tapi banyak sehingga jika didetail durasinya akan lebih lama. .

Rasionalitas Cinta

Saturday, January 20, 2007 by ismansyah


“Saat aku menenggak racun itu, maka kau akan tahu betapa aku benar-benar mencintaimu”



Tapi aku tidak akan melakukannya. Ketulusan cinta tidak bisa diaplikasikan dengan pembuktian naïf sia-sia semacam itu. Berulang kali aku mendengar kisah romeo, Shakspeare, dan menghayati kisah majnun (Qais), Nizami, tetapi aku bukanlah orang-orang seperti mereka. Sungguh pada batas itu, cinta hanya berbuah kesengsaraan dan kepedihan. Ada sedikit kebahagiaan hadir yang merupakan buah dari imaginasi dan harapan. Akan tetapi keadaan-keadaan seperti itu akan menghabiskan waktu, membuang masa produktif manusia.

Keseimbangan harus selalu hadir begitu juga dalam cinta dan mencintai. Sentimentil dan perasaan pada puncaknya tidak bisa menyeimbangkan dirinya sendiri tanpa rasionalitas. Akal harus dihadirkan untuk menguatkan tubuh yang lemah dan lumpuh oleh perasaan –pada keadaan lain rasa juga perlu hadir untuk mengingatkan rasio-

jika hati mulai lemah, bekerjalah logika untuk menguatkan,

dan jika logika mulai angkuh, bekerjalah hati untuk mengingatkan.


gambar diambil dari :

http://static.flickr.com/16/21170254_603ee1165e_m.jpg

Kerisauan

by ismansyah

Dan ada saat aku merasa telah melihat dengan jelas semuanya. Ada saat dimana aku merasa sudah sangat mengenal siapa diriku, apa mauku, apa perjuanganku dan akan merealisasikannya untuk satu, dua, tiga, sampai lima tahun kedepan. Aku merasa sudah cukup untuk memberikan perbandingan-perbandingan, sudah cukup untuk melihat berbagai sudut pandang, dan sekarang adalah saatnya untuk menyimpulkan. Aku anggap itu adalah klimaks dari pencarian jati diri, klimaks dari pemikiran yang kuhabiskan bersama malam-malam panjang. Dan ini adalah sebuah keyakinan yang selayaknya aku perjuangkan.

Akan tetapi waktu yang kujalani menuntut lain. Seiring itu, ia memampangkan beberapa realitas yang tak bisa kuacuhkan. Aku tak mengerti kenapa ia begitu saja ditampakkan di depan wajahku pada saat aku telah merasa mampu untuk menyimpulkan. Seolah-olah ia ingin mengatakan dan mengkoreksi bahwa kesimpulanku selam ini tidaklah cukup baik. Aku kebingungan sungguh, karena keyakinan itu kembali digoyahkan. Aku mulai mempertanyakan lagi banyak hal, memikirkan ulang dan tidak mustahil pada saat ia tidak menguntungkan lagi bagiku dengan sangat sepihak aku akan membuangnya dan menganggap itu adalah sebuah kesalahan (dan juga adalah bagian dari kekecewaan, hampir semua hal-hal yang mendasar tidak memiliki kekurangan, hanya saja aplikasinya sering kali bertolak belakang, seperti itu menurut pengalamanku)

Dahulu aku melihat ketidakcocokan dan tersenyum saja, dan menganggap itu sebuah anugrah. Jika aku merasa apa yang kubawa adalah baik, maka aku berusaha untuk merealisasikan itu setidaknya untuk diriku. Tapi tidak sekarang. Aku melihat banyak ketidakcocokan dan memprotesnya dengan sangat keras. Ini tidak baik! (meskipun aku tidak bilang itu salah) seperti itu nada kekecewaan yang aku lontarkan kepada banyak hal yang sering kali mengganggu tidur malamku. Aku juga tidak mengerti kenapa menjadi begitu agresif sampai-sampai waktu yang kuhabiskan hanya untuk menyesali ketidakcocokan itu. Seoalah-olah ini semua salahku, seolah-olah aku yang membuat ketidakcocokan itu, dan seolah-olah hanya aku yang merasakan ketidakcocokan itu.

Dan memang benar, ternyata orang-orang disekitarku bergerak dengan normal (apakah aku salah menilai? apakah itu hanya pandangan sempitku saja?). Mereka biasa saja dan tidak melihat adanya keganjilan. Mereka menganggap rutinitas dan semua bentuk kemonotonan ini adalah lumrah, begitu saja adanya, sebuah keniscayaan-jika mengutip kata-kata yang tertulis pada batu nisan Soe Hoek-Gie, nobody knows the trouble I see, nobody see my sorrows…-



“oh tidak!” se
karang aku mulai melihat kepada diriku, mecoba mengeluarkan otak dan hatiku dari tubuhku dan berusaha melihat diriku secara utuh dari luar. Mungkinkah sebenarnya aku yang bermasalah? Mungkinkah ada kesalahan pada pemikiranku, caraku melihat sesuatu? Dan ekstrim sekali, jika berkata apakah aku yang memang sudah gila?

Aku tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti, dan proses itu tidak menghasilkan apa-apa, nihil sama sekali. Akan tetapi aku menangkap dua hal yang tidak mampu untuk aku koreksi, otak dan hatiku, karena mereka adalah alat bagiku untuk mempersepsi hal. Dengan merekalah aku melihat segala bentuk keanehan dan keganjilan ini. Lalu bagaimana aku bisa mengoreksinya. Sejauh ini aku beranggapan bahwa otak dan hatiku saling mengkoreksi,

jika hati mulai lemah, bekerjalah logika untuk menguatkan,

dan jika logika mulai angkuh, bekerjalah hati untuk mengingatkan.

Dan sejauh ini aku belum memiliki kesimpulan apa-apa lagi, terapung dan mengambang di tengah-tengah, dan aku sama sekali tidak menyukai posisi ini. Kalau tidak bisa berenang, sekalian saja aku tenggelam kedasar. Mengambang,….. seperti orang yang tidak punya pendirian saja, ikut terombang-ambing bersama arus sungguh tidak membuat tenang – Aku jadi teringat kata-kata seorang novelis, Gustavo Flaubert “saat kita menemukan dunia ini terlalu buruk, kita butuh mengungsi kedunia lain” pertanyaannya, haruskah? Dan launjutannya, apakah aku memiliki keberanian untuk itu?-

gambar diambil dari :
http://www.archanwell.net/autopage/images/TueDecember2005-20-48-3-confusing-160.GIF
http://thor.info.uaic.ro/~busaco/paint/unusual-selfportrait/Thinking.jpg