<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d29125597\x26blogName\x3dHolistic+view+to+Equilibrium+state\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://carokann.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://carokann.blogspot.com/\x26vt\x3d-2369228846023373281', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sains dan Seni

Saya teringat kembali pada kata-kata Prof.Ron Ekers yang disampaikan dalam seminar umum 2nd IOAA bahwa Sains adalah salah satu dari beberapa hal yang merupakan common sense pada setiap bangsa-bangsa di dunia. Seluruh umat memiliki persepsi yang sama terhadap sains, dan salah satu yang bisa menyatukan seluruh bangsa di dunia. Kemudian saya segera berpikir mencari tahu hal lain yang identik dengan sains tersebut. Dan saya rasa kita semua sepakat kalau itu adalah seni (Art) yang merupkan hal lain yang memiliki common sense pada setiap manusia.

Berbicara tentang sains, pandangan umum sering mengaitkannya dengan fakta alam. Tapi untuk ilmuan sekelas Prof. Ekers, menjelaskannya secara lebih rinci bahwa sains adalah suatu pengamatan (observasi) atau penelitian, kemudian membuat hipotesa, dan mengujinya. Secara garis besar seperti itulah sains menurut beliau. Tapi saya rasa kita semua akan sepakat bahwa untuk melakukan prosese-proses tersebut kita membutuhkan logika, pikiran untuk memprosesnya.

Dan jika kita berbicara tentang seni, maka kita akan lebih banyak melibatkan unsur perasaan, estetika. Kita bisa mencermati sejarah seni dan mendapati bahwa seni tidak hanya berhubungan tentang perasaan karena beberapa defenisi menyatakan bahwa seni adalah keterampilan, skill (pada masa Yunani kuno), karya yang berguna (work of art) yang dalam prosesnya juga melibatkan perhitungan-perhitungan selayaknya sains. Akan tetapi kita coba mengambil suatu defenisi yang umum saja untuk menyatakan Seni sebagai fine arts (seni indah) yang dalam proses pembuatannya lebih banyak melibatkan mental dan perasaan halus sang seniman.

Dan kembali kepada topik kita diatas, maka saya bertanya sains dan seni apakah yang dimaksud memiliki common sense pada setiap umat manusia di dunia?. Sains dan seni yang bagaimanakah yang dapat menyatukan seluruh bangsa-bangsa di dunia? Ini pertanyaan besar, retorik, dan sekiranya tidak akan terjawab, apalagi terselesaikan hanya dengan melontarkan teori-teori kasar. Akan tetapi saya mencoba menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang sangat sederhana dan standar. Sains yang memiliki common sense tentu saja sains yang menggunakan logika dan pikiran jernih, dan begitu juga dengan seni yang memiliki common sense adalah seni yang menggunakan perasaan yang luhur. Sesuatu yang terdengar sangat indah dan saya kesulitan untuk mengartikannya jika tidak dibantu dengan KBBI.

Jernih berarti bersih, tidak keruh. Dalam konteks ini sains dengan pikiran jernih berarti sains yang dikembangkan murni untuk tujuan sains itu sendiri. Sains bukanlah suatu doktrin atas kebenaran, akan tetapi dengan sistematikanya sains selalu berusaha mendekati kebenaran. Sains senantiasa mengkoreksi dirinya sendiri dalam artian kerap kali berubah sesuai dengan data dan fakta yang ada. Ini berarti sains akan terus dan terus belajar.

Luhur berarti mulia ; memuliakan. Dalam konteks ini seni dengan perasaan yang luhur berarti karya seni yang memulikan apakah itu alam maupun manusia, dalam artian sebuah seni yang membangun dan memberikan pesan moral pada masyarakat (bermaksud untuk memuliakan). Memang dalam sejarahnya telah terdapat pertentangan tentang tujuan dari seni. Apakah tujuan seni untuk seni itu sendiri, memberikan kesenangan, bisa dinikmati, memberikan kepuasan, dan memggambarkan tentang hal yang indah-indah atau ada tujuan lain yang lebih mulia dari itu? Saya sendiri bukanlah seorang seniman dan tidak terlalu ambil pusing dengan tujuan dari seni tersebut akan tetapi sepanjang ia bersifat memuliakan maka itu yang akan saya pakai sebagai defenisi dari seni dengan perasaan luhur. Meskipun saya tidak bisa mengingkari bahwa saya sependapat tentang pernyataan seorang pujangga, Matthew Arnold yang mengatakan jika puisi (identik dengan seni) terlalu banyak ditekankan kepada hal yang bersifat estetis, maka puisi akan kehilangan kekuatannya. Kekuatan yang dimaksud disini adalah membangun dan memberikan pesan moral kepada penikmatnya (Encyclopedia Of Literature and Criticism)

Lantas jika kita telah mendapati sepasang common sense (sains dan seni) yang ada pada manusia apakah telah mampu menjadi penengah, setidaknya menjadi pencerah pada ummat manusia? Karena pada kenyataannya kemajuan sains dan Teknologi, dan begitu juga dengan seni tidak mampu untuk menyelesaikan masalah-masalah diantara manusia. Seharusnya sesuatu yang memiliki common sense, bahasa yang universal, bisa menjadi solusi awal untuk menjembatani segala perbedaan dan sengketa dengan alasan persamaan. Apalagi yang harus diributkan jika kita sama? Bukankah setiap perkelahian, sengketa, peperangan yang terjadi diatas Bumi selalu didasarkan atas perbedaan-perbedaan diantara umat manusia? Atau memang saya terlalu mengeneralisir permasalahannya? Saya kira memang saya terlalu mempermudah persoalannya 


NB : Tulisan ini sangat terbuka untuk berdisikusi karena saya yakin telah menyinggung suatu tema besar dengan pikiran sempit saya.

“ Sains dan Seni ”

  1. Blogger Anton William Says:

    man man man... sains itu khan objektif. nah seni itu subjektif. ada penjelasannya, ndak?

  2. Blogger ismansyah Says:

    Anton_->Tapi saya pribadi kurang setuju untuk menyatakan sains murni objektif dan seni murni subjektif.Saya kira kita harus memberikan kadar(kecenderungan) dan memilah cabang-cabang sains dan seni yang lebih subjektif atau lebih objektif. Seperti yang telah saya tuliskan juga, dalam sejarahnya seni ada yang didefenisikan sebagai 'teknik' yang tentunya lebih kental ke arah objektivitas. Atau menurut anton sendiri seperti apa?

  3. Anonymous Anonymous Says:

    Lantas jika kita telah mendapati sepasang common sense (sains dan seni) yang ada pada manusia apakah telah mampu menjadi penengah, setidaknya menjadi pencerah pada ummat manusia?

    Yah, kalau dunia ini seindah kata, mending jadi penyair saja ya Man. Nyatanya semakin maju sains, makin hancur dunia. Sedangkan seni sudah hilang selaput permeabelnya dengan pornografi dan anarki.

    Atau memang begitu hukum alamnya?

  4. Blogger Anton William Says:

    setahuku sains itu obejktif karena punya metodologi. metodologi inilah yang dianut oleh saintis, di mana saja dia berada di dunia ini.

    nah kalau seni setahuku engga begitu man.. ndak ada metodologi dalam seni. cmiiw..

    man, coba perbaiki/ganti template blogmu. soalnya kalau mau liat komentar ndak bisa langsung dari link "comments" yang ada halaman utama tuh...

  5. Blogger ismansyah Says:

    Anton --> Dan begitu juga dengan seni, mereka juga punya metodologi yang sistematis dan mirip dengan metodologi penelitian dalam sains,misalkan seperti seni desain mereka mengumpulkan data, melakukan observasi dan penelitian untuk menghasilkan suatu karya (saya ketehaui dari seorang teman alumni seni rupa). Makanya untuk menghindari kesalahpahaman dalam tulisan ini(dalam membedakan sains dan seni) saya ambil contoh yang paling ekstrim yaitu seni murni (fine art) yang pada dasarnya cabang seni yang paling banyak menggunakan perasaan si senimannya sendiri :)

    Eddy-->betul kk eddy :)

  6. Anonymous Anonymous Says:

    Ah ya, aku baru nyadar seni itu ada metodologi juga. Kalau tidak, nilainya jadi pudar.

    Pernah ada kejadian, seorang wanita yang lama tinggal di luar negeri membuat sebuah film independen (film juga benda seni kan?) dengan latar Sumatera Barat. Film itu ternyata jadi bahan tertawaan orang-orang yang diundang untuk menonton (para pejabat), karena banyak salah. Misalnya diceritakan si tokoh mau ke kota A harus lewat kota B dulu. Padahal aslinya lewat kota C.

    Jelas, si pembuat film tak tahu apa-apa tentang Sumbar, dan tentunya dia tak pernah melakukan research. Udah jaman internet ini padahal.

    Tapi kalau melihat fine art ...
    Seperti yang kamu bilang, dia lebih mengedepankan perasaan. Misalnya, dalam seni tidak salah kalau ada kata-kata tidak baku yang digunakan, sebab itu suka-suka yang bikin. Sebagian orang pun berpendapat tidak salah kalau ketelanjangan dieksploitasi dalam seni, lagi-lagi dengan alasan "perasaan orangnya".

    Nah, apakah sebenarnya ada dualisme dalam seni? Yang butuh riset, dan yang seenaknya. Chairil Anwar yang konon slenge'an kurasa tak sempat melakukan research dulu seperti dosen SR.

  7. Blogger ismansyah Says:

    nah..:) tapi gak juga kk eddy, mis.pak chairil anwar juga melakukan riset dengan cara dia. Setahu saya dia orang yang banyak baca, tahu beberapa jenis bahasa (dia banyak melakukan studi literatur dari bacaan-bacaan yang bukan indonesia) dan beberapa puisinya tercipta dalam waktu yang lama hanya untuk memilih kata-kata yang tepat. Dia salah satu pujangga yang tidak setuju bahwa penciptaaan sebuah puisi berasal dari langit,'wangsit' atau semacamnya. Nah masalah kebablasannya sebuah kebebasan memang sangat sukar untuk diantisipasi (mungkin masalahnya sama seperti negara kita ini pasca reformasi)Makanya dalam tulisan ini saya menawarkan sebuah "seni dengan perasaan yang luhur",dalam artian seni yang memuliakan manusia :)