<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d29125597\x26blogName\x3dHolistic+view+to+Equilibrium+state\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://carokann.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://carokann.blogspot.com/\x26vt\x3d-2369228846023373281', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Palestina

Thursday, January 08, 2009 by ismansyah

Aku akan mengatakan satu alasan terbaik bagimu untuk memahami masalah ini. Di abad modern ini, apakah engkau masih melihat adanya penjajahan terhadap satu bangsa? Di abad modern yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi ini apakah engkau pernah melihat satu bangsa ynag mendirikan negara diatas negara orang lain? Jika engkau tidak tahu, maka aku katakan disanalah tempatnya!

Jika mereka menghendaki perdamaian, maka mereka harus memberikan tanah-tanah mereka, ladang-ladang mereka, bahkan rumah tempat mereka bermukim. Tapi aku akan katakan yang lebih buruk daripada itu semua. Mereka akan kehilangan harga diri, hak azasi mereka sebagai manusia merdeka. Apalagi yang lebih buruk dari itu?








Dalam sejarah negara kita saja (Indonesia) kita tidak pernah mendambakan perdamaian dengan penjajah. Kita tidak ingin berbagi wilayah, karena ini adalah tanah tumpah darah kita!, jika mereka hendak berdamai, maka mereka harus angkat kaki dari negara ini, bukankah begitu? Itulah dulu yang dilakukan oleh para pejuang negara ini. Dengan keterbatasan persenjataan perang mereka melawan dengan sekuat tenaga. Tapi pada beberapa pertempuran kita tidak mampu untuk berperang secara frontal, face-to-face dengan musuh karena memang persenjataan kita jauh ketinggalan. Jendral besar Soedirman harus keluar masuk hutan, bergerilya sebagai aksi strategis dalam mengacaukan formasi musuh. Mengganggu pasukan musuh, kemudian ”lari” masuk hutan lagi, dan begitulah seterusnya. Tak-tik itu berhasil membuat musuh kelabakan, dan sayangnya masyarakat yang tidak ikut bergerilya menjadi pelampiasan. Mereka menjadi bulan-bulanan penjajah akan tetapi apakah mereka tidak faham itu? Apakah mereka akan menyalahkan Jendral Soedirman dan bala tentaranya yang tidak memikirkan nasib mereka yang dijadikan tumbal?. Dan apakah juga seorang Jendral besar dalam sejarah Indonesia tidak memikirkan nasib rakyatnya yang menjadi korban? Saya rasa kedua belah pihak masing-masing sangat mengerti resiko itu. Bahkan masyarakat tetap memberikan bantuan medis dan pangan kepada para gerilyawan. Dan seorang Jendral besar juga tahu selalu ada korban untuk sebuah perjuangan menuju kemerdekaan, menuju kebebasan, meskipun hatinya berkecambuk dan teriris-iris oleh berbagai pertentangan.

Dan pada satu kesempatan jika keadaan sudah merugikan dirinya, pihak penjajah akan menawarkan perdamaian, gencatan senjata. Tapi apakah engkau tahu idiologi apa yang dibawa oleh bangsa penjajah? Agama? bukan! Tidak ada agama yang mengajarkan penjajahan. Mereka sama sekali tidak peduli agama mereka! Mungkin sebagian besar mereka tidak percaya agama, barangkali. Mereka hanya akan memikirkan keuntungan yang mereka dapatkan, semata-mata untuk kepentingan mereka. Dari dulu sampai sekarang juga begitu, motif para penjajah adalah ekonomi, uang, pengusaan modal, dan segala hal yang berkaitan dengan kejayaan mereka sendiri. Maka pertanyaannya apakah kita akan berunding dengan mereka? ”Berunding-berunding NICA datang juga!” (Naga Bonar)

Dan kita sama-sama tahu bahwa setiap bangsa, setiap individu manusia pasti sangat mendambakan perdamaian, hidup bersama secara harmonis tanpa adanya konflik yang berarti. Tapi labih dari itu semua, setiap individu pasti lebih menghendaki adanya keadilan, karena perdamaian yang hakiki tidak akan pernah terwujud tanpa adanya keadilan! Dan karena perdamaian tanpa adanya keadilan adalah penjajahan.

Pertanyaan terakhir, apakah kita akan merestui adanya penjajahan terhadap suatu bangsa di abad modern ini? Semata-mata hanya karena ketidakpedulian kita ataupun hanya karena ketidaktahuan kita? Pada titik ini, ketidaktahuan bisa menjadi ”dosa”.


Lihatlah tanah air Palestina. Apakah manusia yang berakal bisa menerima bahwa pembunuhan terhadap orang Yahudi di Barat (Holocaust) dijadikan alasan untuk menduduki tanah air yang dimiliki orang lain dan mendirikan sebuah negara baru disana, dengan penduduk baru? Apakah tebusan bagi sebuah tragedi di Eropa (kalaupun memang itu terjadi) harus dilakukan di sebuah kawasan di timur tengah yang berjarak ribuan kilometer? Itupun dengan sebuah biaya yang besar, dengan terbunuhnya ribuan penduduk asli palestina, dengan terusirnya jutaan orang, dan dengan perusakan rumah dan ladang yang terus berlangsung selama 60 tahun.

Ahmadinejad,

UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 11 mei 2006

(Dari buku “Ahmadinejad on Palestine” Dina Sulaiman)


Rakyat Palestina tidak melakukan kejahatan apapun. Mereka tidak punya peran dalam Perang Dunia II. Mereka hidup bersama masyarakat Yahudi dan Kristen secara damai pada masa tersebut. Mereka tidak mempunyai permasalahan. Dan hari ini, umat Yahudi, Kristen, dan Muslim hidup bersaudara di seluruh dunia, di banyak benua mereka tidak mempunyai permasalahan yang serius.

Tapi apa sebabnya rakyat Palestina harus membayar semua ini; orang-orang Palestina yang tidak bersalah? Lima juta orang terus terusir dan menjadi pengusngsi selama 60 tahun – tidakkah itu suatu kejahatan? Apakah bertanya mengenai kejahatan-kejahatan ini suatu kejahatan juga? Mengapa seorang akademisi, diri saya, menghadapi hujatan ketika mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini? Inikah yang kalian sebut sebagai kebebasan dan menegakkan kebebasan berpikir?

Ahmadinejad di Colombia University, New York, 24 sept 2007

(Dari buku “Ahmadinejad on Palestine” Dina Sulaiman)


Gambar dari : hhttp://www.jazarah.net/blog/wp-content/images/AdsP/PalestineDyingtoLive01.jpg