<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d29125597\x26blogName\x3dHolistic+view+to+Equilibrium+state\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://carokann.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://carokann.blogspot.com/\x26vt\x3d-2369228846023373281', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sajak-Sajak Empat Seuntai, Sapardi Djoko Damono (My ultimate)

Sunday, August 30, 2009 by ismansyah




Saya lihat beberapa teman telah memulai menuliskan apresiasi tentang puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Saya kira ada baiknya saya turut juga meramaikan bursa apresiasi ini guna melestarikan sastra yang kita punya agar kelak jika dicuri orang, kita “benar-benar” merasarakan kehilangan.

SAJAK-SAJA EMPAT SEUNTAI
/1/
kukirim padamu beberapa patah kata
yang sudah langka....
jika suatu hari nanti mereka mencapaimu,
rahasiakan, sia-sia saja memahamiku.
/2/
ruangan yang ada dalam sepatah kata
ternyata mirip rumah kita:
ada gambar, bunyi, dan gerak-gerik di sana -
hanya saja kita diharamkan menafsirkannya.
/3/
bagi yang masih percaya pada kata:
diam pusat gejolaknya, padam inti kobarnya -
tapi kapan kita pernah memahami laut ?
memahami api yang tak hendak surut ?
/4/
apakah yang kita dapatkan di luar kata :
taman bunga ? ruang angkasa ?
d taman, begitu banyak yang tak tersampaikan
di angkasa, begitu hakiki makna kehampaan.
/5/
apa lagi yang bisa ditahan ? beberapa kata
bersikeras menerobos batas kenyataan -
setelah mencapai seberang, masihkah bermakna,
bagimu, segala yang ingin kusampaikan ?
/6/
dalam setiap kata yang kaubaca selalu ada
huruf yang hilang -
kelak kau pasti akan kembali menemukannya
di sela-sela kenangan penuh ilalang.
(Sapardi, 1989)


Puisi diatas saya dapatkan dalam buku “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono. Beberapa puisi terbaik (menurut saya) dalam buku ini saya berikan ilustrasi bentuk dan warna tersendiri dalam pikiran saya agar saya mudah untuk mengenangnya. Misalkan Sajak ”Aku ingin” saya gambarkan dengan warna Orange-Kemerahan. Sajak ”Hujan Bulan Juni” saya beri perpaduan yang tidak baur antara Hijau dan Biru, dan begitu seterusnya. Saya tidak mampu menjelaskan atas dasar apa saya mengasosiasikan sajak-sajak tersebut dengan warna tertentu, akan tetapi saya meresapi setiap lirik dan bunyi yang dihasilkan dan memberikan kesimpulan berdasarkan pengalaman hidup saya.

Ada cerita sedih dibalik kepemilikan saya atas buku ini. Pertama kali membelinya, meskipun tidak seperti kitab suci, buku tersebut saya jadikan sebagai buku sakti saya. Kemana-mana selalu dibawa dan setiap ada kesempatan saya membacanya ataupun membacakannya di depan teman-teman. Terkadang mereka mendengarkan tetapi lebih sering mereka menimpali dengan nada mengejek, cuek, ikut mendeklamasikan, dan lain sebagainya, dan itu yang saya harapkan.

Kemudian tak berapa lama buku itu hilang oleh karena saya lupa atau seperti apa detailnya saya tidak tahu. Maka saya meringankan kaki saya untuk beranjak ke Gramedia dan membelinya kembali dengan harga 22 ribu. (Pertama kali membeli harganya 15 ribu). Lalu beberapa bulan di tangan saya, buku itu hilang lagi dan saya meringankan kaki lagi untuk membelinya. Saya lupa berapa harga untuk pembelian ketiga kali ini. Akan tetapi sialnya, buku itu hilang juga dan saya berpikiran saya tidak berjodoh dengan buku bersampul hitam itu. Maka untuk yang keempat kalinya saya harus membeli buku itu lagi karena saya sudah menganggap buku itu bagian dari tas selempang saya yang setiap hari saya bawa-bawa. Sayangnya begitu sampai di Gramedia si teteh berkata buku itu sudah tidak ada lagi dan setelah melakukan pemesanan beberapa minggu, si teteh menelepon bahwa buku itu sudah tidak dicetak lagi dari penerbitnya. Merasa kepalang tanggung, akhirnya saya putuskan untuk bergerilya ke seluruh toko buku di Bandung. Saya jelajahi semua TB Gramedia di setiap mall, semua TB Gunung Agung, Palasari , bahkan sampai ke toko buku-toko buku kecil hanya untuk mencari buku tersebut. Akan tetapi tetap hasilnya nihil. Disaat terakhir itu saya punya perasaan bahwa saya tidak akan mendapatkan kembali ”kekasih” saya yang hilang tersebut.

Aniwei........
Salah satu ketertarikan terbesar saya pada puisi SDD adalah saya tidak perlu bersusah payah memeras otak untuk mengartikan kata-per-kata, kalimat-per-kalimat dari puisi beliau. Saya terbiasa menikmati puisi beliau seperti mendengarkan lagu-lagu yang lembut. Kemudian melayangkan imajinasi ke dalam ruang-ruang yang alami dan serba hijau dan biru (Tumbuhan dan Air). Itu dugaan pertama saya. Dugaan kedua saya sedikit mirip dengan yang pertama. SDD menggunakan logika-logika sederhana dalam puisinya, kebanyakan adalah imajinasi dan penghayatan akan puisi. Dan ada dugaan versi ketiga yaitu ia membiarkan kita mengapresiasi puisinya seperti apa keinginan kita (sederhana dan butuh penghayatan) agar tidak membingungkan apresiator. Akan tetapi dibalik itu beliau punya makna tersendiri yang jauh lebih dalam (yang dinyatakan dalam bentuk simbol-simbol dan merupakan reaksi alami seorang pujangga atas realitas masyarakat, terutama sosial-politik) daripada anggapan kita. Mari berandai-andai.

Dalam ucapan belasungkawa atas kematian Alm.WS Rendra, saya sempat membaca ”kata setuju” beliau atas kalimat Alm Rendra yang kurang lebih seperti ini isinya ”Sajak harus keluar dari kompleksitasnya agar pena lebih tajam dari pedang bisa bermakna”. Komentar ini saya tanggapi dengan beragam sangkaan juga. Penafsiran saya yang paling utama adalah beliau pada dasarnya lebih menekankan keindahan sajak yang berujung pada kompleksitas kata dan penafsiran. Ini melelahkan jika kita hendak melihat sajak sebagai sarana penyampaian informasi kepada masyarakat luas, meskipun tidak bisa dipungkiri oleh setiap pujangga bahwa kompleksitas bahasa puisi adalah sebuah godaan yang sangat sulit untuk dihindari. Kompleksitas bahasa puisi punya daya tarik yang begitu besar yang jika berlebihan mampu membuatnya menjadi seperti sebuah Mesjid yang megah tapi tanpa jemaah yang sholat didalamnya. Akan tetapi itu semua kata saya, karena apapun kata saya, kita tidak bisa mengikuti kepelikan cara berpikir seorang pujangga., apalagi untuk seukuran pujangga reformis seperti beliau.


Sebenarnya saya tidak perlu menceritakan cerita diatas, toh saya hanya hendak menceritakan tentang pengalaman pribadi saya ketika membaca ”sajak-sajak empat seuntai” ini, sesuai dengan judul yang saya buat. Akan tetapi ..ya begitulah, selalu ada reaksi emosional saya ketika mengenang Puisi-puisi SDD karena saya sudah kehilangan buku ”Hujan Bulan Juni” tersebut sampai empat kali, dan saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya kembali. So what gitchu lho? Dan memang untuk menjelaskan puisi ini saya harus menuliskan terlebih dahulu seperti apa SDD beserta puisi-puisinya dalam bayangan saya.

Reff:
Secara keseluruhan puisi-puisi SDD sangat selaras dengan aliran pikiran saya yang pada waktu itu memang sedang mengharapkan sesuatu yang baru dan segar untuk bisa dinikmati dalam mengarungi kepelikan hidup (berlebihan!). Akan tetapi ada sesuatu yang janggal yang saya temukan pada ”Sajak-sajak empat Seuntai” ini . Pertama melihat dan membacanya saya seperti tersengat aliran listrik, yang meskipun tegangannya tidak mematikan, tapi cukup untuk membuat saya berdiri kaku untuk sejenak. Sedikit ataupun sangat narsis, saya merasa pak SDD telah menuliskan puisi ini khusus untuk saya! sehingga saya mengaggapnya sebagai my ultimate(ngeri gak situ?!). Saya merasa beliau telah menuliskan puisi tersebut agar dapat saya baca dan membayangkannya mengatakan kepada saya ”nah lo..inikan yang lo alami?”Mau tidak mau puisi ini memaksa saya untuk berpikir karena menganggap isinya sangat terasosiasi dengan pengalaman hidup dan pikiran. Dengan kata lain puisi ini mampu memaksa saya untuk keluar dari frame berpikir umum dalam mengapresiasi puisi SDD.

Dalam mengapresiasi puisi ini, saya harus mengartikannya secara detail dengan memaknai kata-per-kata, kalimat-per-kalimat, lalu keutuhannya dalam satu paragraf dan hubungannya dengan paragraf berikutnya, Tidak cukup sampai situ saya harus membacanya berulang-ulang, (bukan sebuah keterpaksaan untuk mengartikan sebuah puisi, hanya saya merasa terhipnotis oleh puisi ini) mengira-ngira dimana letak tanda jeda yang cocok, berupaya menyelaraskan bunyi sampai hal-hal lainnya juga harus dideklamasikan secara sempurna. Dan akhirnya .......saya kira saya mendapatkan gambaran yang utuh dalam sebuah bentuk sajak yang sangat kontemplatif.

Tema yang diceritakan dalam puisi ini adalah tema yang sangat mendasar, yang membuatnya berbeda dengan puisi-puisi lain. Adalah sebuah usaha pencarian yang lelah seorang anak manusia. Pencarian yang belum selesai akan tetapi harus tunduk pada ketidaksempurnaan jua. Ada penerimaan akan keterbatasan, dimana sang waktu jualah yang menjawab semua pertanyaan. Jika waktu tidak menjawab, maka ia akan memberikan pemahaman-pemahaman yang setidaknya melegakan.

Ini interpretasi saya jika dipaksa harus menuliskannya dalam kalimat singkat,padat dan jika saya anggap SDD menulis puisi ini buat saya :p. Akan tetapi pada kenyataannya kan tidak, jadi saya harap saya mampu meihat puisi ini dalam horizon yang lebih lebar. Dan memang pada akhirnya saya harus katakan, bahwa saya tidak bisa mengapresiaasi puisi ini dalam bentuk uraian kata-kata, karena kata yang saya punya sangatlah terbatas. Akhirnya saya harus tetap kembali pada frame berpikir awal saya dalam mengapresiasi puisi SDD bahwa puisi-puisi beliau tidak terlalu perlu untuk diartikan, akan tetapi puisinya butuh penghayatan. Penghayatan yang akhirnya menghasilkan warna, bentuk, penjalaran-penjalaran ke berbagai persoalan dan bidang kehidupan dan menghasilkan beragam makna yang tak pernah selesai. Disitulah letak kedahsyatan puisi saat anda menemukan makna baru setiap kali membacanya. Karena jika saya mengambil kata-kata beliau lagi kurang lebih intinya seperti ini ”jika makna puisi telah didapat, maka riwayat puisi tamat” Semoga Hari Anda Menyenangkan :D